RESENSI NOVEL : HUJAN BULAN JUNI KARYA SAPARDI DJOKO DAMONO


Saya akan mencoba meresensi sedikit tentang novel Hujan Bulan Juni karya Sapardi Djoko Damono. Novel ini merupakan novel hadiah ulang tahun yang diberikan oleh teman saya saat saya membuka lembaran umur baru, 18 tahun. Rasanya telat sekali jika saya baru mengulasnya sekarang karena sudah banyak resensi bahkan ulasan tentang novel ini, tapi tidak mengurungkan niat saya untuk meresensi novel ini. Resensi ini saya persembahkan untuk teman saya, semoga kamu membaca resensi ini, ini pertanda bahwa hadiah darimu tidak ku abaikan. Maaf, setelah beberapa tahun sejak kamu memberinya, akhir tahun 2017 baru selesai saya baca. 

sumber foto : Gramedia.com

Judul: Hujan Bulan Juni
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Juni 2015
Tebal Buku : 135 halaman
ISBN : 9786020318431

Bagaimana mungkin seseorang memiliki keinginan untuk mengurai kembali benang yang tak terkirakan jumlahnya dalam selembar sapu tangan yang telah ditentunnya sendiri. Bagaimana mungkin seseorang bisa mendadak terbebaskan dari jaringan benang yang susun-bersusun, silang-menyilang, timpa-menimpa dengan rapi di selembar saputangan yang sudah bertahun-tahun lamanya ditenun dengan sabar oleh jari-jarinya sendiri oeleh kesunyiannya sendiri oleh ketabahannya sendiri oleh tarikan dan hembusan napasnya sendiri oleh rintik waktu dalam benaknya sendiri oleh kerinduannya sendiri oleh penghayatannya sendiri tentang hubungan-hubungan pelik antara perempuan dan laki-laki yang tinggal di sebuah ruangan kedap suara yang bernama kasih sayang. Bagaimana mungkin.

Resensi:

Novel Hujan Bulan Juni bercerita tentang kisah percintaan antara Sarwono dengan Pingkan. Sarwono adalah seorang dosen Antropolog muda yang lihai dalam membuat baitan puisi yang dimuat dalam surat kabar. Sementara Pingkan adalah seorang dosen muda di prodi Jepang. 

Kisah percintaan Sarwono dan Pingkan memang bukan kisah percintaan yang biasa. Banyak sekali persoalan yang dihadapi oleh Sarwono dan Pingkan, karena mereka berasal dari kota, suku, budaya dan agama yang berbeda. Sarwono adalah seorang laki-laki yang berasal dari suku Jawa, sedangkan Pingkan adalah seorang perempuan berdarah campuran antara Jawa (ibunya) dan Menado (bapaknya).

Walau berbeda keyakinan, suku, dan budaya namun mereka berdua tidak mempersoalkan tentang perbedaan itu. Cinta mereka tulus tanpa melihat agama apa yang dianutnya. Sarwono sangat mencintai Pingkan, begitupun sebaliknya. Melihat Sarwono dan Pingkan yang tidak mempersoalkan hubungan mereka, dapat disimpulkan bahwa konflik antara Sarwono dan Pingkan nyaris tidak terlihat, kecuali kecemburuan Sarwono kepada sontoloyo Katsuo. Katsuo adalah dosen Jepang yang pernah kuliah di UI, tempat Pingkan dan Sarwono mengajar. Dan Katsuo, sangat dekat dengan Pingkan. Itu pun hanya batin Sarwono saja, ia tidak mengungkapkan betul kecemburuan kepada Pingkan. 

Konflik atau permasalahan justru ada pada keluarga Pingkan yang berada di Menado. Permasalahan yang dimunculkan adalah perihal keyakinan oleh keluarga Pingkan. Keluarga Pingkan selalu bertanya hubungan Pingkan dengan Sarwono. Pertanyaan yang  dimaksudkan untuk menyudutkan Sarwono, dan memiliki maksud agar Pingkan tidak menjalin hubungan dengan Sarwono. Keluarga Pingkan yang berada di Menado berharap selepas pendidikan Pingkan di Jepang, Pingkan tinggal di Menado dan menikah dengan sosok dosen muda yang mengajar di Menado, yang dari dulu naksir Pingkan. Namun seberapa besar upaya yang dilakukan keluarga Pingkan, Pingkan tetap mempertahankan hubungannya dengan Sarwono. Bahkan berencana untuk menikah dengan Sarwono, pernah sekali waktu Pingkan meminta agar mereka menikah di Kyoto, Jepang. 

Penulisan novel ini berbeda dengan novel-novel pada umumnya, setiap kata dan kalimat tersusun seperti sebuah syair puisi. Pemilihan diksi yang begitu puitis. Satu yang menarik dari novel ini adalah pada halaman 44 - 45, tidak ada tanda baca koma dan titik dalam penulisannya, seakan-akan memang seperti syair. Butuh beberapa kali saya ulang membaca agar mampu masuk ke dalam ceritanya.

"Ibu itu perawatnya perawat, dewinya dewi - tidak jarang juga tirannya tiran" (Hal 5)

"Baru kali ini mereka menyadari bahwa kasih sayang yang mengungguli segalanya  menembus apa pun yang tidak bisa dipahami oleh pengertian pinggir jalan tidak akan bisa dicapai tidak bisa dibincangkan dengan teori metode dan pendekatan apapun ...." (Hal 44)

Sekian resensi saya tentang novel Hujan Bulan Juni yang sudah difilm kan, dan saya tidak sempat menontonnya. Semoga resensi ini belum menjadi sebuah resensi yang basi, karena novel sudah difilmkan. Terima kasih. 

Comments

  1. Uh, jadi kepo deh ama bukunya, penasarannn
    Salkenn kak

    ReplyDelete
  2. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  3. Hai teman-teman, #SalamLiterasi. Yuk baca novelnya.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular posts from this blog

HAIKU dan TANKA

RESENSI NOVEL : PADANG BULAN KARYA ANDREA HIRATA

Getir