TAK SEPERTI HABIBIE
TAK SEPERTI HABIBIE
Tifanny Ellies
Sebuah tanah lapang tidak terlalu luas ada satu
pohon besar di ujung tanah lapang dan seekor sapi diikat di pohon. Banyak anak-anak
sedang bermain. Ada yang bermain lempar batu, ada yang bermain karet dan ada
beberapa anak duduk membuat satu baris mengelilingi satu orang duduk di depan
mereka.
“kalian tahu, Angin, petir seperti badai datang ketika
ibu malin kundang berdoa pada Tuhan. Saat itu malin hendak ingin pergi”
“lalu setelah itu apa yang terjadi samin?”
“malin kundang berubah jadi batu”
“benarkah itu samin?”
“ya benar, kau gofar. Untuk itu jangan melawan pada
ibumu. Kalau ibumu menyuruhmu pulang dan memintamu membantu menjual dagangannya.
Lekaslah kau lakukan gofar, kalau tidak, nanti ibumu mengutukmu jadi batu. Mana
ada yang bisa mengangkat batu sebesar dirimu gofar.”
“Hahaha.. betul itu gofar”
Anak
laki-laki itu adalah seorang gembala sapi yang dikat di pohon ujung lapangan. Samin,
seorang cucu veteran yang duduk di bangku 5 sekolah dasar. Sambil berjalan
membawa sapi ditemani adiknya nak itu masih bercerita tentang buku yang dibawa
ayahnya sepulang dari ibu kota.
“bang
samin, nanti ara ingin pinjam buku abang yang dibelikan bapak”
“iya
ara, nanti abang pinjamkan. Buku itu adalah buku yang harus kau baca. Semua kisah
nusantara ada di buku itu. Bapak yang belikan untuk abang karena tahun kemarin
abang mendapat peringkat satu. Kini, kau harus membacanya. Abang simpan buku
itu di rak lemari di kamar abang”
Anak
itu berjalan menuju rumahnya yang tidak terlalu jauh dari tanah lapang.
Sampailah
ia di depan rumahnya dengan sapi yang ia bawa. Mukanya sangat senang karena ia
baru saja memberikan sebuah kisah pengajaran kepada teman-temannya.
“assalamualaikum
kakek ara dan abang samin pulang”
“waalaikumsalam,
gembira sekali cucu kakek.”
“kek,
ara ingin mandi dulu yah. Tadi ara main karet sama teman-teman, keringetan bau deh”
“iya.
Nah samin, apa kau ingin mandi juga”
“tidak
kek, kek, tadi samin menceritakan cerita malin kundang kepada teman-teman”
“wah
bagus itu samin, lalu bagaimana dengan sapi kakek. Apa dia sudah makan?”
“sudah
kek, kek, kapan bapak pulang kek? Bukankah ini sudah 4 bulan. Biasanya bapak
pulang dengan waktu 4 bulan sekali.”
“mungkin
bapakmu sedang banyak pekerjaan”
Samin
anak yang sangat pintar di sekolah ia sangat aktif dalam melontarkan
pertanyaan-pertanyaan kepada gurunya. Dalam
satu kelas, samin sangat menonjol. Tidak pernah ia tidak bertanya bahkan ia
sering sekali bertanya kepada kakeknya tentang sesuatu yang ingin ia ketahui.
Saat
malam hari ketika ia mengerjakan tugas yang diberikan gurunya. Samin menuliskan
cita-citanya dan mengungkapkan cita-citanya itu kepada kakeknya. “kala samin
besar, samin ingin pergi ke kota untuk melanjutkan belajar. Samin ingin menjadi
orang pintar seperti pak Habibie. Ia bisa membuat sebuah pesawat. Kek, apa
samin bisa seperti pak Habibie?”
“bisa samin. Setiap manusia diciptakan tuhan untuk
menjadi manusia yang hebat asal ia mau berusaha. Samin akan menjadi seorang
yang pintar apabila samin rajin belajar.”
Sudah tidak bisa diragukan lagi samin adalah anak
yang pintar dan rajin. Kakek samin pun sangat bangga pada samin anak berusia 10
tahun sudah mempunyai cita-cita sebesar itu. Kakek hanya bisa berdoa pada tuhan
agar diberikan umur yang panjang agarbisa melihat samin menjadi manusia yang
berhasil.
***
Sudah
tujuh hari berlalu, semua buku yang dibelikan bapaknya sudah habis dibaca. Samin
masih ingin membaca buku. Samin merindukan bapaknya. Ia menanti-nanti
kedatangan bapaknya dan tentu saja ia menantikan buku yang dibawa bapaknya
untuk samin. Kini, tidak ada cerita yang harus diceritakannya kepada teman-temannya.
“samin,
ayo dong bercerita lagi. Sudah dua hari kamu diam saja. Kami ingin dengar
ceritamu samin”
Ucapan
salah satu anak yang biasa berbaris untuk mendengar cerita samin hanya membuat
samin semakin sedih.
“sudah
tidak ada cerita lagi, semua cerita yang aku baca sudah ku ceritakan semua”
“apa
saja samin, tidak harus cerita yang kau baca saja yang kau akan ceritakan
kepada kami. Cerita apapun itu kami akan mendengarkannya”
Angin
menderu. Lagit sudah mulai gelap. Bergemuruh dan mendung. Sebentar lagi akan
turun hujan. Namun hujan belum sempat turun, ada sebuah ide cerita apa yang
akan ia ceritakan kepada teman-temannya. Belum sempat ia ucapkan, terdengar
dari sudut lapang anak kecil berteriak.
“Abang…..
bapak pulang……”
Semua
anak-anak yang berbaris itu menorah ke arah dimana suara itu datang.
“samin
itu ara memanggilmu”
“Abang…
bapak pulang…”
Terpancar
garis melengkung di wajah samin. Ia tersenyum bahagia. Berlari ke arah pohon
sambil membuka ikatan tali dan menarik-narik agar cepat sapi itu berjalan. Sudah
seminggu ia menantikan kedatangan bapaknya. Dan hari itu merupakan hari yang ia
nanti-nantikan dengan perasaan yang tidak sabar sampai rumah. Samin menarik
sapi dengan kuat sekali, sampai adiknya disuruh untuk membantunya menarik.
Sampailah
di rumah, muka kakek seperti muka orang sedang marah dan kecewa sekali. Suasanya
sangat sepi,seperti tidak ada kehangatan suasana rumah saat bapak pulang dan
bertemu kakek. Samin dan ara yang sudah ada di depan pintu.
“masuklah
nak, bapak ingin bicara dengan kalian.”
“bapak,
adakah buku yang bapak bawa untuk samin?”
“pak,
ada mainan baru untuk ara?”
“iya
nanti, bapak ingin bicara terlebih dahulu. Samin, ara. Bapak minta maaf kini bapak
tidak membawakan kalian buku dan mainan. Samin, rumah makan dimana bapak
bekerja membutuhkan banyak orang. Untuk itu bapak kesini untuk membawamu ke
kota kamu kerja bersama bapak. Disini kamu hanya membantu kakek saja mencari
makan sapinya itu. Tetapi disana kamu membantu bapak dan mempunyai uang. Uang itu
bisa kamu belikan buku.”
“apa
disana samin bisa bersekolah pak?”
“iya
disana kamu bisa bersekolah samin, nanti bapak akan meminta keringanan untukmu.
Karena kamu hanya membantu membenahi bekas orang-orang makan saja”
“baiklah
pak jika itu bisa membantu bapak samin akan ikut. Tapi kakek dan ara juga ikut
kan pak?”
“tidak,
biarkan ara bersama kakek disini. Kapanpun kau mau pulang nanti bapak antarkan
kamu pulang”
Kakek
sangat marah dengan ucapan anak laki-laki semata wayangnya tersebut biarpun
demikian samin tetap ingin pergi bersama bapaknya. Hari itu merupakan hari
tersulit bagi dirinya, adiknya dan kakeknya.
Samin
pergi ke kota bersama ayahnya menjadi seorang pelayan. Tak disangka yang
dijanjikan ayahnya bahwa ia akan bisa bersekolah itupun ternayta hanya isapan
belaka, ia tidak diijinkan sekolah selama pelanggan berdatangan karena rumah
makan itu sangat ramai dikunjungi oleh pekerja kantor, dan oleh semua
pelanggannya.
Selama
ia menunggu orang-orang selesai makan, ia membaca buku yang ia beli di toko
sebelah. Ia tetap belajar dan tetap membaca cerita. Tak jarang ia perhatikan
ibu pemilik rumah makan ketika menghitung uang. Cita-citanya ingin menjadi
orang ointar yang membuat pesawat seperti habibie pun sudah telupakan.
***
Lima
belas tahun samin tinggal di kota sebagai seorang pelayan rumah makan, kini
samin dapat membuka rumah makannya sendiri dengan nama rumah makan pesawat
tempur. Samin menjadi pengusaha muda, walaupun sekolahnya hanya tamat di bangku
kelas 5 sekolah dasar. Kakeknya meninggal diusianya yang 15 tahun. Bapaknya tinggal
bersamanya, samin memboyong keluarganya untuk tinggal bersamanya. Kini cita-citanya
menjadi orang pintar seperti habibie sudah tidak diingatnya kembali, kini ia
menjadi seorang pengusaha muda.
Comments
Post a Comment